Berwisata ke Bali memiliki arti tersendiri bagi setiap orang. Setiap moment pertemuan, moment berkesan, dan moment perpisahan akan diabadikan dalam bentuk foto atau bahkan video. Aku juga demikian, suka mendokumentasikan riwayat perjalanan disana tetapi dalam bentuk tulisan. Supaya orang-orang tahu seperti apa kesan pertemuanku dengan budaya lokal, gadis lokal, patung lokal, muslim lokal, hujan lokal dan restoran lokal. Dan, supaya orang-orang paham bagaimana kesan aku berpisah dengan pesisir pantai, bule pantai, gadis pantai, dan ritual di pesisir pantai.
Begitu kapal Feri berlabuh, aku langsung berdiri siap menghadapi “kesan pertemuan” pertama dengan pulau dewata. Kacamata kubersihkan, jaket pun kurapikan. Sambil perhatian pada hati yang berbisik, aku memandang setiap orang yang terus berlalu lalang menjajakan kopi dan jasa angkutan. Posisiku masih di pelabuhan Benoa. Bisikan hati ingin mencari “persamaan” tetapi akal ingin terus mencari “keunikan”. “Sambutan” adalah tangkapan pertama yang mengisi “gap” perselisihan . “Oh” ternayata orang pelabuhan sangat cepat berebut pelanggan, “hati-hati” terus saja berjalan. Tidak lama, bus tour de’ Ge juga berhasil keluar feri, kami pun menuju ke area parkiran bus-bus lintas kota dan lintas provinsi.
Begitu turun dari bus, hujan dan halilintar pun ikut turun memeriahkan pulau dewata. Mataku memeriksa beberapa bangunan. Disana telah menunggu patung semar dan sejenisnya. Di pintu depan, terdapat tembok diikat kain. Penghuni membakar dupa dan menaruh sesajen disitu. Ritus kepercayaan juga terlihat dimana aja. Kesimpulan belum ada, apakah aku sedang bersama orang yang menghidupkan tradisi budaya atau sedang bersama “orang kawasan dewa”.
“Terus”, aku berjalan saja. Titik berkumpul berada setelah parkiran bus-bus dan mobil. Ada mushalla, kamar mandi dan jamban buat turis. Penjaganya berteriak, “Salat tiga ribu”, “Mandi lima ribu”, “berak dua ribu”. Temanku gelisah mau kencing tidak ada harga, akhirnya dia ambil paket mandi jadi tidak perlu bayar pipis. Turis lain juga komplain “salat berbayar”, Sementara mereka berdebat, antrean salat subuhku tiba, sedikit kugeser sajadah menjauh dari “najis” cicak, mataku memperhatikan “najis” lainnya di sekitaran mushalla. Area ini tidak sebersih gapura, kuil dewa, atau pun masjid karena perawatannya dibawah operasional “kang lima ribu”.
Pukul tujuh pagi, saatnya sarapan tiba. Tidak jauh dari sana jejeran toko baju dan souvenir ada tapi belum buka. Rombongan kami melawan hujan menuju sebuah restauran prasmanan yang telah disiapkan di sekitarannya. Hati yang sedang jauh dari bumi syariat berkeluh risau soal makanan halal yang disajikan. Namun akal menasehati “jangan merisaukan hal yang sudah jelas hukum asalnya” “ayam betutu” halal, “sambal matah” halal, nasi halal, “es daluman” halal. konflik batin terus berlanjut sampai satu piring nasi, semangkok daging kambing dan tambahan satu piring ayam selesai kumakan. “Trust matters“.
Hujan masih berlanjut membuat pelancong harus melipat celana ke lutut, berjalan pelan menuruni anak tangga. Kami sedang mengarah ke sebuah pantai. Betis-betis putih halus terlihat lelah menopang tubuh beberapa dara “Jegeg”. Exposure Lebih jelas dari kamera, kacamataku membantu zoom-in dan zoom-out dengan fokus. Jujur sebenarnya kemampuan ini dimiliki oleh setiap pemuda bahkan mereka mampu megevaluasi degradasi warna kulit sampai pangkal paha.
Sesampai dibawah, hujan masih terus menyirami turis-turis yang memaksa turun. Beberapa berlindung dibawah patung,beberapa masuk ke pura dan aku memilih ke bibir goa. Disini aku bisa merasakan percikan ombak yang terus mencoba menaiki karang. Sambil menunggu hujan reda, kuamati beberapa pasang mata saling bertatap, sesekali mereka saling menyeka air mata, sesekali air hujan. Seakan dunia milik mereka, kami yang juga sedang menunggu pasang laut mengizinkan kami berjalan ke pulau ritual, “luput” dari penglihatan mereka.
Sampai matahari kian meninggi, pasang laut tidak turun. Bus Tour de’ Ge tiba untuk membawa kami ke destinasi wisata selanjutnya. Sekarang sudah ada Tourguide lokal, memperkenalkan diri sebagai “bli”, dia langsung menyapa dan mengumumkan info selanjutnya: “maaf, di Bali tidak ada makan siang”. Sontak seisi bus meresa diakali oleh panitia. Dia pun menenangkan seisi bus dan menjelaskan hal tersebut karena orang Bali cuma mampu “makan nasi” di siang hari, tetapi tidak punya kuasa untuk memakan “hari”. Gelak tawa pun pecah, ternyata itu lelucon saja.
Pemberhentian tepat di depan pusat baju dan souvenir branded lokal, “Jogger”. Toko baju sablon yang konsisten memproduksi produk untuk kenang-kenangan dari Bali. Aku memilih beberapa gantungan kunci, satu tas selempang dan dua T-shirts yang nge-hits saat itu. Teman rombongan memilih lusinan baju untuk dibawa terbang ke kampung halaman. Seperti terkena sihir media, semua ikut belanja, yang bawa uang sedikit bahkan rela berhutang untuk bisa merasakan “hype” belanja. Katanya toko ini tidak buka cabang ke luar kota dan hanya menjual barang dari toko asli.
Sesi selanjutnya menuju pantai kuta. Bus tour de’ GE berhenti mengantar. Kami menunggu “komotra atau kura-kura” lewat, sejenis bus mini yang larinya cepat. Aku, muhammad, Aan, dan Yodi memilih kura-kura. Bukannya lebih lambat, bus ini berani menyalip dalam lorong-lorong sempit. Beberapa bule yang kebetulan keluar dari pintu rumah berteriak karena mengira akan tertabrak. Memang terlalu cepat tapi malah bikin sensasi baru dalam perjalanan kami. Sopir memang mengejar target tapi caranya menyetir adalah untuk menghibur semata.
Tiba di lokasi, perutku sedikit mual saat seorang gadis penjual sirih menjajakan dagangannya. Sambil menahan pusing, aku meraba tiga lembar lima ribuan untuk “aqua“, sirih, dan kue “laklak“. Sebelum dia berlalu, aku bertanya ” upacara apa yang sedang dilangsungkan di bibir pantai, geg? “oh itu acara upacara “Melasti”. Terlihat peserta ritual duduk berkerumun berbaju putih dan merapalkan mantra-mantra seperti kidung nyanyian. Aku tidak memastikan kebenaran nama upara itu sampai akhirnya berpisah. Mabrib tiba tetapi upacara masih terus berlanjut.
Bus “Tour de’ GE” mengantar kami menginap di sebuah hunian mewah, hotel berbintang. Pelayannya memakai pakaian kemeja putih bermotif alam Bali. Ramah dalam menyambut tamu dan melayani dengan penuh ketenangan. Mata mereka teduh kala memandang, baik itu lelaki atau perempuan. Rasanya ini terlalu lebih untuk sekedar pelayanan ruang makan, kamar mandi dan kamar bermalam.
Setelah dinner, kebanyakan duduk merenggangkan kaki. lelah seharian berjalan. “Besok, kita kemana lagi?” tanya seseorang. “Ayung dewata, Bosque“. Lokasinya di Ubud, area dingin pedesaan yang kian populer. Sesekali kami menguap tanda kantuk tak tertahan, beberapa memilih tidur duluan, beberapa menundanya dengan secangkir kopi hitam. Suasana hotel yang menawan sayang bila dilewatkan. Terutama bagian depan, indah bak Istana bogor yang megah. Semakin indah kala lampu-lampu hias mengambil peran pencahayaan.
Perjalanan dimulai pukul delapan, bus “tour de’ Ge” kembali ke aspal setelah ikut bermalam. Semua berkemas. Sandal, sepatu, baju ganti, dan seluruh bawaan ikut hitungan. Klakson pertama, setengah isi bus telah terisi, klakson kedua, beberapa anggota keluar hotel tanpa cuci muka. Klakson ketiga, semua sudah tertata. Pak sopir ditemani “bli” bergurau siapa yang telat bakal di tinggal. Tanpa curiga kami langsung berangkat.
Pertama dalam hidupku merasakan sensasi arung jeram. Seorang “guide” disediakan untuk memandu “rafting” kami berjalan sesuai standard. Aliran sungai membelah dua bukit yang rimbun. Tiap sisi terdapat batu-batu yang mencatat sejarah masa lampau. Beberapa sisi aku melihat kembali bekas-bekas “ritual”, ada “dupa”, “sesajen” dan kain penanda pada beberapa pohon. Seperti kerjaan beberapa aliran dukun yang menghidupkan ilmu “Shams Al-maarif, Al-Buni”, penduduk lokal disini juga paham cara menghidupkan kepercayaan terhadap dunia roh.
Rafting berakhir setelah menempuh empat puluh menit mendayung. Beberapa pelancong manca negara juga terlihat mengejar boat kami di belakang. Sebelumnya, beberapa sempat berfoto ria disamping pohon-pohon bertanda dan sumber mata air. Terlihat “Bule” mancanegara sama sekali “no idea” terhadap kepercayaan setempat. Aku pun salah seorang yang telah hidup di masa modern sehingga hal begitu tidak perlu dibesarkan.
Kami pulang tapi sempat berhenti di dua masjid. Mesjid pertama terletak di lokasi ibadah “Puja Mandala“, bernama masjid “Ibnu batutah“. Masjid ini begitu indah, dirawat oleh toleransi beragama yang tinggi. Area ini memiliki empat tempat ibadah lainnya yaitu:Gereja “Khatolik Maria Bunda Segala Bangsa”, “Wihara Budhida Guna”, Gereja “Kristen Protestan Bukit Doa”, dan “Pura Jagatnatha”. Masjid kedua adalah masjid yang kami lewati setelah makan di siang hari. Nama mesjid ini tidak sempat terekam baik dari segi foto maupun video. Tapi aku menemukan semangat islam cukup tinggi disini.
Terlihat anak-anak belajar Al-quran dengan seorang Ustazah. Secara diam-diam aku telah mengambil beberapa gambar mereka, tetapi sudah terhapus waktu. Tidak ada yang tertinggal di “SD Card” HP-ku. Muslim terlihat samar di kota, namun disini mereka terlihat lebih jelas.
Tiba pada undangan makan terakhir namun bukan “the last supper”. Bus “tour de’ GE” berhenti di sebuah “restaurant” mewah di Ubud. Seperti biasa aku kembali melihat dupa dan sesajen pada gerbang masuk. Asap masih mengepul tanda baru saja selesai ritual. Mungkin ritual ini punya tugas memanggil bus, mobil atau kendara yang melintas untuk mapir kesini, atau bertugas sebagai keamaan. Wallahualam bissawab.
Konflik bathin dan kurangnya ilmu fiqqah membuatku merapalkan bismillah berulangkali pada tiap suapan nasi, ayam “lawar”, dan ayam “klungkung”. Disini aku tidak menyentuh daging sama sekali karena ayam lebih enak kata temanku. Dinginnya cuaca beberapa kali menghentikan makanku karena bersin dan ingusan. Tidak lama, kami baru sadar bahwa seorang teman telah tertinggal di masjid. Hal yang dihindari malah terjadi juga. Beruntung ada penduduk yang mau mengejar bus kami sampai tempat pemberhentian.
Baca juga: Pesona Saba Badui