Pesona Saba Badui

Orang badui sangat menghargai alam namun mereka tidak memiliki konsep pengelolaan wilayah pariwisata. Tidak jarang mereka tidak paham bagaimana mengurusi sampah-sampah yang dibawa pendatang, mengurusi air sungai yang tercemar dan memperbaiki area yang rusak.

0
69

Ceritaku mengakiri tahun 2021 adalah menapaki lereng pengunungan kendeng di bagian Banten selatan, tempat bermukimnya para masyarakat asli sunda yang lebih dikenal sebagai orang badui. Ulasan ini bercerita tentang kesan pribadi selama bermalam disana dan pesan bagi pengunjung selanjutnya agar lebih aware terhadap issue lingkungan dan adat sempat.

Tim ekspedisi kami berjumlah sembilan orang: ada Agus, Adam, Yani, Putra, Ayu, Fida, saya dan dua orang tourguides. Perencanaan tidak begitu matang berimbas pada pengeluaran yang melebihi prediksi. Kesalahan dimulai dari kesalahan memilih jadwal berangkat sampai kesalahan mengambil jalan pulang. Untuk berangkat ke Badui sangat terbatas pada pilihan transportasi dan jadwal keberangkatannya: hanya bus mini atau angkot kecil, “elep” yang langsung kesana.

Kami tiba di stasiun Rangkas bitung, tempat berkumpul sesuai janji dengan tourguides kami. Jam masih menunjukkan pukul delapan pagi. Mas Bodong salah satu tourguide menjelaskan ini terlalu pagi buat kesana dan lagipun angkot hanya tersedia pukul sebelas nanti. Akhirnya kami singgah kerumahnya menghabiskan tiga jam buat ngopi dan makan snack.

Angkot tiba sesuai jadwal dan perjalanan pun diteruskan. Kami menghabiskan waktu dua jam menuju desa Ciboleger, area transit para pendaki guna mempersiapkan bekal dan tenaga. Desa ini sudah tersedia terminal, parkir, rumah makan dan toserba seperti Indomaret. Setiap dari kami nge-cek bawaan masing-masing. Sebagai tim, ada yang bertugas bawa minum, beras, lauk dan snacks. Bagi cewe yang tidak kuat, mereka cukup bawa asisten. Tourguides beri aba-aba untuk berangkat setelah zuhur, tepatnya pukul 12.30 wib, kami terus berkemas dan mengeratkan tali sepatu serta tali pinggang.

Saba Badui

Saba badui bermakna bersilaturahmi dengan orang badui. Bagi mereka kata ini lebih diterima daripada istilah wisata badui. Hal ini cukup beralasan karena mereka tidak bermaksud membuka desa mereka terhadap orang luar untuk “tujuan wisata”. Mereka tetap hidup dengan cara mereka sendiri dan terhubung erat dengan peraturan adat yang sudah berlaku turun-temurun. Sebenarnya istilah badui pun bagi mereka tidak cocok karena dari zaman dahulu mereka telah mengidentifikasi diri sebagai “orang kenekes”. Badui itu istilah dari orang luar dan kurang cocok karena sebenarnya mereka tidak “nomaden” seperti layaknya “arab badui” yang terus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun begitu, sekarang mereka tidak mempermasalahkan lagi kedua istilah itu, mau dipanggil suku badui atau urang kenekes bagi mereka sudah sama saja (Zaenuddin, 2020).

Perjalanan menyapa badui kami lakukan bertahap sesuai lokasi perkampungan. Pertama menuju kaum badui luar karena gerbang menuju kesana terdapat di Ciboleger. Secara adat, kaum badui luar tidak terlalu terikat dengan aturan yang strict. Mereka memperbolehkan dirinya dan keluarganya menggunakan smartphone seperti masyarakat modern lainnya, menggunakan angkot untuk menjual hasil tenun, panen, dan peliharaan ke pasar kota serta menggunakan kereta api bila perlu. Namun mereka memiliki ciri yang berbeda dengan badui dalam pada segi pakaian, warna yang dipakai harus hitam dan ikat kepala berwarna biru/putih. Sedangkan badui dalam memakai warna putih dan ikat kepala berwarna putih.

Suku badui luar hidup rukun bertetangga dengan rumah yang sama dan berderet sejajar. Setiap lorong yang kami lalui mendapati perempuan-perempuan mereka menenun kain di teras rumah, sebagian dari mereka membuka toko kain tradisional, ada juga yang menjual minuman buat pendatang. Ramah dan santun saat disapa. Laki-laki mereka berkebun, sebagian yang pulang cepat duduk beristirahat depan rumah. Kita bisa melihat mereka saling bercengkrama dan kadang membantu istrinya berjualan. Anak-anak mereka sangat menarik jika diamati, terutama setelah mandi. Ibunya suka membedaki mereka sampai putih tertutup bedak dan bibirnya dimerahkan menggunakan pewarna: bisa jadi lipstict bisa jadi bukan. Aku tidak sempat bertanya. Seperti orang sunda pada umumnya, suku badui juga memiliki karakter kulit yang sama, putih halus dan paras mereka cantik-cantik.

Aturan di kawasan badui luar tidak sama dengan kawasan badui dalam. Kita masih bisa berfoto, mengambil gambar pemandangan, mengajak penduduk setempat turut selfie bahkan berkeliling area manapun. Disini, terdapat banyak sekali spot terbaik buat menikmati pemandangan alam sambil menikmati hasil budaya lokal. Contohnya saja Jembatan gantung terletak tidak jauh dari pemukiman, sisi sungai yang indah juga tidak terlalu jarak dengan penduduk setempat. Merekam semua keindahan disini tidak akan dikenakan sanksi adat ataupun menpadatkan larangan dari Puun, sebutan ketua adat setempat.

Orang badui sangat menghargai alam namun mereka tidak memiliki konsep pengelolaan wilayah pariwisata. Tidak jarang mereka tidak paham bagaimana mengurusi sampah-sampah yang dibawa pendatang, mengurusi air sungai yang tercemar dan memperbaiki area yang rusak. Turis yang datang baik dari dalam negeri maupun luar negeri sebagian tidak menghiraukan akibat dari sampah yang mereka biarkan. Mungkin ini sebagai catatan untuk para pelancong kedepan supaya lebih mengedepankan kepentingan mereka daripada pribadi karena hidup mereka bergantung pada alam sedangkan kita cuma pendatang.

Setelah melalui perkampungan suku badui luar, kami tiba di bukit batas antara badui dalam dan badui luar. Ada sebuah bambu berdiri tegak, bila ditiup angin bambu ini mengeluarkan bunyi seperti suling tapi kasar. Mas Bowo menghentikan langkah dan mengingatkan kami berhenti mengambil gambar atau merekam segala aktifitas setelah melewati bukit tersebut. Tidak jauh dari situ, kami mampir pada gubuk pertama dekat tapal batas untuk beristirahat. Seorang nenek terlihat sendiri dan menawari kami “tuak”, orang sumatra menyebutnya “air nira” saja.

Setelah cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan kedua, memasuki badui dalam. Berbeda dengan wilayah badui luar, badui dalam tidak memiliki banyak penduduk. Mereka adalah orang-orang pilihan yang akan melanjutkan tradisi dan hukum adat. Perspektif sangat menentukan ketertarikanmu pada daerah ini. Bila kamu ingin sekedar melihat-lihat, maka yang kamu temukan hanyalah beberapa pondok rumah panggung dimana hanya dihuni oleh orang tua saja. Kebanyakan yang muda-muda pergi berkebun. Mereka juga tidak memiliki banyak untuk ditawarkan untuk kamu sebagai tamu pendatang. Hewan ternak saja, mereka cuma punya ayam. Tidak ada kerbau, lembu, domba atau kambing sekalipun disini. Sebenarnya badui luar juga sama demikian. Bila kamu tertarik dengan hidup mereka, maka kamu akan melihat bagaimana lesung itu berfungsi, sungai itu digunakan, fungsi potongan bambu kala mengangkut air, gudang penyimpanan padi dipakai, tali-tali yang dianyam, dan timah yang dipanaskan. Mereka unik dengan cara bergantung pada alam dan unik dengan menolak hasil peradaban modern.

Kami tiba di desa Cibeo, area sakral buat para etnik badui, pada sore hari. Kami tidak menemui Puun karena langsung disambut oleh salah satu orang tua disana. Kami hanya memanggil beliau dengan sebutan “ayah”. Mungkin Puun sedang sibuk atau baru pulang berladang, kami tidak berani menanyakan. Semua bekal kami serahkan ke “ayah” buat dimasak: beras, ikan sarden dan beberapa cemilan. Maklum saja, perempuan-perempuan kota kami tidak tahu cara memasak dengan dapur kayu apalagi memasak ala badui dimana letak dapur beralas papan dekat sekali dengan ruang tamu. Salah sedikit saja, bara api bisa membakar seisi gubuk panggung.

Saat malam tidak ada cahaya sama sekali melainkan dari Ilahi dan dari sebuah lampu teplok di ruang tamu. Ayah menyalakannya setelah matahari turun. Unik sekali, karena sumbu diikat dan digantung menggunakan kawat, sedangkan mangkok dijadikan wadah menampung minyak sayur sebagai bahan bakar. Apinya tahan lama, tidak berbau dan tidak terlalu berasap seperti obor-obor pada umumnya.

Bak api unggun, hangat api dapur pun melindungi ayah dari sengatan dinginnya malam tapi tidak bisa melindungi kami yang tidur berjejer dekat pintu masuk sampai dinding pemisah ruang tengah. Jaket dan kaos tambahan kami pakai untuk mencegah dinginnya suhu menusuk badan. Keesokan hari, sisanya adalah pernajalanan pulang, berharap malam ini pulih, kami pun memilih berbaring sampai subuh terasa datang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here