Magical Pulau Gili Labak : “Hot Kaleidoscope 2019”

Sementara itu, Bus melaju dengan kecepatan sedang menuju sebuah dermaga di desa Talango. Saat kubaca ternyata ada beberapa dermaga lain yang bisa dipakai untuk menuju ke Gili Labak selain dari dermaga di desa Talango, ada dermaga kalianget di Sumenep timur -sebuah dermaga yang paling sering dipakai untuk kesana oleh turis darimana aja, ada dermaga dari desa Lobuk - sekarang semakin ramai dan memeliki persewaan kapal yang cukup, dan ada Tanjung Saronggi.

0
861

Sebaiknya cukup berfikir sekali dan tentukan hari kapan mau ke Gili Labak. Pulau ini semakin menawan dan sudah sering dikunjungi, baik itu dari turis lokal atau turis luar. Akhir 2019, aku berkesempatan mengunjungi wisata alam Madura ini bersama rekan-rekan dari tempat aku bekerja. Seperti biasa kedatanganku berwisata bukan sebatas bersuka ria tetapi ingin mencari sekelumit cerita yang bisa aku tuliskan.

Mulanya biasa saja, aku diam tapi perjalanan akan terlalu membosankan. Bertanya pada hal-hal yang harus dijawab sendiri adalah sesuatu yang mudah dilakukan. Ini menyenangkan. Dimulai dari menyeberangi jembatan terpanjang di Indonesia sebuah pertanyaan muncul. Tahu apa aku tentang suramadu sehingga harus dibuatkan jembatan sepanjang ini? Yang terlihat sepanjang lintas punggung jembatan adalah kehampaan, cuma bus kami yang mengambil badan jalan. Orang rantau madura pun pulang lebaran haji, sebagian lebaran idul fitri itu pun sedikit. Mereka pun masih butuh lokarya untuk menghasilkan produk-produk yang bisa diantar ke luar kota. Sekarang untuk siapa?

Sementara itu, Bus melaju dengan kecepatan sedang menuju sebuah dermaga di desa Talango. Saat kubaca ternyata ada beberapa dermaga lain yang bisa dipakai untuk menuju ke Gili Labak selain dari dermaga di desa Talango, ada dermaga kalianget di Sumenep timur -sebuah dermaga yang paling sering dipakai untuk kesana oleh turis darimana aja, ada dermaga dari desa Lobuk – sekarang semakin ramai dan memeliki persewaan kapal yang cukup, dan ada Tanjung Saronggi.

Tiba di dermaga, aku berhenti memikirkan jawaban dan mengemas semua barang bawaan, tas, jaket, dan sarung. Satu per satu dari rekan advanture meloncat ke perahu bermuatan tiga puluh orang dibantu oleh beberapa kru kapal yang lihai mengawasi kaki kaki supaya tidak terjerembab atau terjepit dengan papan-papan pijakan. Sekitar pukul delapan pagi, kapal berangkat dan kami menghabiskan waktu sekitar dua jam di laut samudra.

Pulau sudah terlihat, tetapi nahkoda menghentikan mesin kapal. Awak  mengeluarkan pelampung dan alat bantu snorkling. Kemudian kami diminta mendengarkan penjelasan cara menyelam ke area Finding Nemo. Jangan berenang melewati pembatas katanya tetapi ternyata arus air laut permukaan sangat berbeda dari arus kedalaman. Aku terseret pelan tanpa sadar keluar dari jangkauan. Teman melemparkan pelampung dan mendapat tali bantuan.

Ikan-ikan badut keluar dari karang. Aku membuka sedikit genggaman supaya mereka bisa mencubit roti yang kubawakan. Umpan ini ternyata juga bisa mengundang ikan ikan besar. Rombongan kakap saling balapan kencang lalu lalang di hadapan. Aku tidak bisa mengejar dan kadang mereka memutar berada di belakangku. Karang-karang baru tumbuh terlihat indah dengan beragam warna. Bentuknya juga berbeda-beda, ada yang spiral, ada yang seperti batu, ada yang berbentuk seperti bunga. Semua mereka adalah hasil dari kerja pelestarian alam. Beberapa benih karang terlihat baru saja tumbuh diatas bongkahan semen yang sengaja ditenggelamkan.

Sudah hampir dua jam kami menikmati pemandangan bawah laut. Mesin kapal kembali hidup, kami ditarik satu per satu menaiki dek. Puas dengan keseruan menyelam, melihat karang, mengejar ikan dan berfoto under water, kami melepas kembali snorkling equipment. Semua merasa bahagia, puas dengan pengalaman nyelam masing-masing.

Kami berlabuh ke pulau Gili Labak disaat matahari sudah sangat terik. Pasir telah mampu membakar telapak kaki. Aku berlari secepat mungkin dan menemukan tempat berteduh. Panitia sudah menyiapkan air kelapa. masing-masing dapat satu, aku mengambil dua. Hantaran makan siang juga sudah ada. Sederhana tapi khas Madura. Dalam sajian nasi, dan ikan bakar, ada sayur daun kelor. Rasanya luar biasa.

Sambil makan, aku mengamati keindahan alam Gili Labak berpasir putih, pantai rapi terawat, tanpa banyak bantuan manusia, alamnya sudah menyiapkan keanggunannya buat dikunjungi. Pohon yang rimbun mampu melindungi pengunjung dari panasnya matahari. Hanya ada beberapa manusia yang tinggal disini. Mereka guardian. Beberapa “saung bambu” telah berdiri. Dari jauh terlihat beberapa rumah saja, tidak ada aspal, tidak ada trotoar dan tidak pagar.  Jika ada hotel atau penginapan, aku akan bermalam disini.

Peluit berbunyi, aba-aba untuk mengemas kembali bawaan. Kapal sudah siap berlayar ke pantai sembilan, Gili Ginting, Sumenep. Seorang meng-absensi semua turis parawisata. Setelah namaku selesai di checklist, segera aku melompat menuju posisi nyaman. Teman-teman menyusul mengisi ruang kosong sebelah kiri dan kananku. Suara mesin lumanyan menganggu gendang telinga tapi lelah mengabaikannya. Saat mata terbuka, kami tiba kala langit sudah jingga.

Masing-masing mendapat sebuah kunci gubuk. Panitia mempersilahkan kami mencari  sendiri “rest area”. menggunakan nomor tertera sebagai petunjuk, aku melalui satu,dua, tiga, empat, lima, enam gubuk mewah. Tidak jauh dari situ aku telah menemukannya. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari sebuah “pertemuan”. Apalagi buat yang mager, menemukan bantal dan kasur punya kebahagiaan tersendiri. Suasana panas berubah turun seketika saat Ac di nyalakan. Setelah membersihkan diri, aku istrahat sejenak.

Malam tiba, festival bakar-bakar diadakan. Saat makan malam, setiap dari kami saling berbisik, “jangan banyak makan, sebentar lagi manggang ikan”. Aku sudahi dua piring “sate ayam madura” dan melanjutkannya dengan “ngopi”. Terlihat sudah banyak yang berkurumun, aku memilih duduk dekat api panggangan. Udara semakin sejuk, jaket tidak begitu kuat menahan dingin. Sesekali dihangatkan oleh tawa mereka yang saling berbalas sapa. Aku mencoba menghangatkan kembali dengan ikut-ikut menyapa. Rencana ini batal karena ternyata diriku tidak begitu terkenal untuk mendapat sebuah perhatian.  “Ah, masa ia”.

Ronde makan dimulai, aku menyortir beberapa gambar tangkapan untuk diabadikan. Sisanya di “delete” sambil menyingkirkan tulang ikan. Tidak ada kegaduhan, sapaan-sapaan berubah jadi cuit-cuitan. Sesekali terdengar suara “tolong, sedang makan”. Semakin diam semakin berkesan seperti “ritual”. Datang Seorang membawa gitar, nyanyiannya mengubah suasana sesekali sendu, sesekali lucu. Keadaan kembali berubah menjadi festival.

Pantai sembilan memiliki pasir indah menawan, “perfect” penginapan, dan aktifitas pantai. Menjelang pagi, “Banana Boat” sudah menunggu turis bertamasya ria. Aku sudah keluar membawa diri dan celana. Setelah menunggu tim, dan mengenakan pelampung, joki langsung membawa kami mebelah ombak. Sesekali kami terjatuh ke tengah lautan. Sesekali terjungkir ke pinggir pantai. Terlihat beberapa sudah menunggu giliran, beberapa sibuk dengan Volley pantai, berselfie ria, beberapa lainnya bermain bola.

Puas dengan bermain, aku istrahat di sebuah restaurant. Sambil mesen kopi, tiket sarapan aku serahkan. Kembali kulihat makanan menggugah selera: “Bebek Songkem”, “Topak Ladhe”, “Kaldu kokot”, dan “sate madura”. Pilihan menu favouritku Kembali ke setingan pabrik, tidak ada yang lebih enak dari sate. Tapi beribu sayang, serbuan orang kelelahan menyisakan aku menu standard kupon. Sambil menghabiskan sisa kopi, aku permisi pada rombongan menuju spot-spot seksi buat postingan terbaruku di Instagram.

Baca juga: Potert Bali

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here