Perjalananku sebagai tutor bahasa inggris telah sampai pada kesempatan menjadi bagian dari program sekolah MAN 1 Indragiri Hilir, Riau. Rasanya bahagia sekali kala menemukan orang-orang hebat penuh semangat belajar dan membangun “ada” di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan provinsi. Bahkan guru-guru muda di sekolah ini memiliki prestasi yang bukan kaleng-kaleng. Ada lulusan awardee LPDP, ada juga mantan kepala sekolah International Riau, dan juga beberapa jebolan cpns yang sudah sukses dan mandiri sebelumnya. Mereka berkharisma dan loyal terhadap pendidikan. Seorang diantaranya adalah teman pertama kala aku sampai disini. Kepala dan Wakil kepala sekolahnya sangat ramah terhadap siapapun, baik bertemu guru atau siswa. Terlebih pak wakil, beliau selalu terlihat friendly dalam kesibukannya.
Pertemuan pertama menemukan diriku “gagap” karena “ada” upacara pembukaan buat program Excellent English Camp (EEC) dan “dihadiri” oleh banyak undangan. Bukan cuma siswa dan guru tetapi juga tamu dari kementrian pendidikan agama tingkat kabupaten. Aku yang sudah terbiasa informal di kursusan bahasa Inggris Pare tidak menyangka bakal ada moment begini. Alhasil pasrah saja, mengabaikan diri kikuk dan memilih maju ke podium.
Memberi kata sambutan di tanah melayu mesti pandai ber-pantun dan masih terekam dalam ingatan bahwa pantunku adalah hasil “iya-iya” si “Alam”. Dua jam sebelum tampil, aku menunjukkan pantun-pantun rakitan dengan ragu-ragu. “Ini gimana?” “ini gimana, Lam?” “Yang ini aja sir, ada kelapa-kelapanya”. “Serius?” kataku. “ia bagus, atau yang ini juga boleh sir”. Kuambil satu dan terus kuhafal namun setiba di podium, suasana aneh bikin pantun itu malah berubah. Dadaku rasanya tak kuat menahan degub jantung. Orang-orang sudah menunggu kata-kata keluar dari mulutku tapi aku masih sibuk sama masker dan Mic yang tak “betol” (menurutku).
Acaranya diliput TV MAN 1 Indragiri Hilir bikin tambah ragu terhadap eksistensi diri sebagai tutor bahasa Inggris dan malah bikin ingat memori pidato-pidato saat berkampanye di beberapa kecamatan kabupaten Bireuen, Aceh. Aku bingung memulai kalimat tanpa sesuatu yang bisa diingat (oleh tamu undangan). Mulailah aku mendebat diri dalam hati antara bicara tentang mimpi kuliah di luar negeri (LN) dan maksud hati belajar bahasa inggris melalui program camp. Dua-duanya aku sampaikan tanpa beraturan. Maklum saja, bagi beberapa orang sepertiku, podium itu bikin panas dalam.
Sambil berharap diri untuk menyudahi, aku mencoba menjelaskan pentingnya bahasa inggris untuk kuliah di LN. Kala menyampaikan, aku ragu. Mereka mempercainya atau tidak, mereka butuh atau tidak, ini sudah saatnya atau belum. Terus saja aku sampaikan sampai kututup keraguan itu dengan salam dan turun dari podium.
Hari-hari belajar di camp berjalan dengan semangat. Semua bahagia dengan pilihannya belajar intensive. Bak asrama, siswa membawa lemari, kasur, kipas, dan sampai peralatan mandi lengkap. Aku tidak pernah sebahagia ini melihat orang bersemangat. Generasi pertama campers adalah pioneer. Mereka menentukan keberhasilan dan juga yang membentuk persepsi guru-guru, orang tua siswa dan tetangga terhadap peluncuran program bahasa inggris berbasis camp ini.
Saban pagi, subuh sekali kami sudah menyiapkan diri salat dan beraktifitas. Dalam hitungan 1,2,3 semua berbaris depan asrama, ready dengan sejumlah kosakata pilihan buat dirapal ditengah jalan. Sesekali Soni ketinggalan, kadang tertinggal tidur, kadang tertinggal sakit perut tapi dia paling “cool” urusan tampil di depan. Akmal Zikri dan Alam paling depan urusan jalan, kadang mereka malah saling berlarian dengan harap cepat sampai ke tujuan. Dinda paling tampan, conversation-nya juga jalan. Kadang dia berkawan sama Elsa kadang sama Teta, pokoknya di jalan buat dialog, ada bahan.
24 jam bagai burung dalam sangkar, kami jauh dunia luar. Sesekali Alam putar Dj buat hiburan, sesekali Hena jadi penyanyi dadakan. Masing-masing mencari cara supaya betah dan kembali berkonsentrasi buat belajar. Ada saja inisiatif mereka. Edo ngopi kadang-kadang, tergantung konten pelajaran. Seperti harapan, EEC membentuk rasa kekeluargaan bahkan melahirkan sosok bagi tiap individu. Iwid paling dewasa, teman curhat buat nana dan puput tapi berasa ibu tiri buat Teta. Narnia paling bisa soal keseriusan, belajar tanpa ada gangguan. Resa akhirnya memilih ikut nge-camp setelah beberapa pertemuan “datang dan pulang”. Harfi adalah abang, menjadi senior dari segi angkatan, dan dewasa dari segi pemikiran.
Kami menghabiskan waktu sampai pada level “kesadaran” bahwa butuh usaha dan tenaga buat menguasai bahasa inggris. Sampai Ramadhan, kami tak jemu pakai bahasa inggris baik di masjid atau masih di jalan. Sahur berbahasa inggris, berbuka juga dengan bahasa inggris. Kalau cakap Indo itu kadang silap. Lebaran, Jaja bawa makan banyak, cukup buat penghuni satu camp, mulai dari buah mangga sampai masak rendang. Soal makan dari Jaja ga terlupakan. Bahkan ini bertambah kesan saat saya ikut pulang ke kampung halaman dia kala lebaran.
Waktu terus berjalan dan pertemuan kami hampir genap empat bulan. Persiapan demi persiapan kami lakukan demi hasil yang memuaskan pada ujian EEC mendatang, final exam. Mendesain PPT, memilih topik ulasan, latihan publik speaking dan kadang sampai mengatur kadar belajar. Sesekali kami memilih nonton buat hiburan, walau kadang sebagian malah tertidur depan layar. Ga papa, terpenting jenuh dan bosan setelah seharian belajar hilang.
EEC batch kedua dimulai tidak lama berselang dari final exam batch pertama. Siswa bertalenta baru hadir ambil bagian. Dari segi aturan, mereka lebih banyak menikmati “kebebasan”. Waktu belajar sama tapi tidak dibatasi untuk jadwal tidur. Fitrah paling disiplin, Torik jujur kalau tidur telat. Edo langsung istirahat selesai kelas, Hariri yang suka ngingatin kalau udah larut. Rayyan juga langsung istrahat setelah kelas.


Dari camp cewe udah diawasi kakak seniornya dari bacth 1, Elsa menggantikan Miss Siti dan Miss Syifa. Disana ada Salwa yang paling diam, dan Awa yang paling supel. Yaya tidak banyak komentar, Haya dan Azrin yang dermawan, mereka suka bawa makanan buat teman-teman. Sesekali Awa juga bawa manggis dan rambutan. Winda paling jago urusan badminton, Kalau pertemanan ada Sahara. Ica paling suka membantu, kadang minjamin motor, kadang dia suka bantu nyapu. Dua lagi ada Syifa dan Rahil. Syifa bisa banyak hal mulai dari nyanyi, being an intrepruneur bidang kosmetik sampai belajar bahasa inggris mandiri, Rahil punya pengalaman bahasa inggris yang lebih lama dan suka bertanya.
Batch kedua memiliki banyak memori tersendiri buat masing-masing campers. Bikin kelas di cafe, Birthday party di Cafe, sampai mengambil jeda istrahat buat hujan-hujanan di camp. Aku pribadi bahkan turut ikut main batminton kala hujan sama mereka karena suasanya bikin seru dan positif.
Periode batch dua tidak selama batch pertama. Campers hanya menghabiskan tidak lebih dari tiga bulan saja. Berbeda dengan Batch 1 yang mendapat keleluasaan dari flexibiltas materi, batch dua terfokus pada penguasaan tata bahasa inggris saja (grammar) walau tidak ada pengurangan pada waktu latihan speaking sama sekali.